Ketika  mentari hadir menerangi bumi, aku masih terlelap dalam gelap
Ketika senja mulai  tiba, baru aku menatap cahaya.Adalah  sebuah  perjalanan panjang menuju cahaya Illahi, ketika kita bergelut  dalam  penat mencari jati diri. Hingga usia remaja beranjak pergi   menghantarkan kita pada kedewasaan yang telah lama bersembunyi.   Tersingkap perlahan sesuai kehendak hati. Bergerak lambat namun mulai   pasti bagi yang mengerti dan mengamini hakikat kealamiahannya.
Dalam  awal perjalanan kedewasaan  itu, kita telah melewati berjuta warna. Dan  warna yang dominan tentunya
warna yang telah  kita pastikan sebagai warna  pilihan. Bagi yang telah mengenal dakwah,  tentunya warna dari situlah  yang mempengaruhi pakaian kehidupannya.  Semakin lama, semakin berserah.  Menapaki jalan iman dengan menumbuhkan  berjuta kerinduan yang tak  terobati. Mencapai tingkat tertinggi “cinta  Illahi“. Dan musafir fakir sepertiku tetap berharap pakian  yang sama.
Menyempurnakan   separuh agama yang telah lama dibina adalah panggilan jiwa yang semakin   lama semakin kuatlah perasaan itu. Terdampar pada rasa takut akan   terperosok pada rutinitas konvensional, semakin membuat bangkit semangat   segera mengakhiri masa kesendirian. Buah kekhawatiran, buah pemikiran,   buah keimanan, maka dimulailah.
Bagiku,  sosok solehah adalah harga mati yang tak bisa  ditawar-tawar lagi. Bukan  karena kesolehanku yang membuat aku terpaku  pada kriteria itu, justru  karena kedhoifanku, kefakiranku. Bukankah  sosok suami akan diwajibkan  menjaga diri dan keluarganya dari siksa api  neraka. Berarti betapa berat  beban seorang laki-laki
yang memutuskan tuk  menjadi suami, menjadi imam  dalam keluarga.
Lelaki  yang baik adalah untuk perempuan yang baik  pula dan begitu sebaliknya.  Mudah memang menebak siapa yang kan  bersanding dengan kita. Maka  alangkah wajar jika pada masa penantian  menunggu bulatnya keputusan,  kita berusaha memperbaiki diri. Tapi  alangkah hinanya kita jika  perbaikan hanya didasarkan pada itu.  Tetapkan bahwa ikhtiar perbaikan  adalah semata-mata kewajiban setiap  hamba untuk menggapai ridho-Nya.  Hingga mampulah kita untuk melabuhkan  ‘cinta’ dalam iman.
Dan ketika atap tersingkap, menataplahSambutlah bidadari yang menghampiri dengan senyumanLalu tetaplah tenggelamkan kita pada keabadian penghambaanBersamanyaDuhai tulang  rusukku yang satu,Kunanti kau dalam  hitungan bulan, Karena kuyakin tak akan meleset  

Tidak ada komentar:
Posting Komentar