“Kini tibalah saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan  untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr.  Mamduh Hasan Al Ganzouri. Beliau adalah ketua Ikatan Dokter Cairo dan  direktur rumah sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di  timur tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada  Professor Mamduh dipersilahkan”
 Suara pembawa acara walimatul ‘urs  itu menggema di seluruh ruangan resepsi penikahan nan mewah di Hotel  Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai Nil, cairo. Seluruh hadirin  menanti dengan penuh penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar  syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti, mungkin akan ada  kejutan baru mengenai hubungan pernikahan  dengan kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering  nongol di televise itu.
 Sejurus kemudian, seorang lelaki  separuh baya berambut putih melangkah menuju podium. Langkahnya tegap.  Air muka di wajahnya memancarkan wibawa. Kepalanya yang sedikit botak,  meyakinkan bahwa ia memang ilmuwan berbobot. Sorot matanya tajam dan  kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium, kamera  dan video lampu sorot langsung menyoting ke arahnya. Sesaat sebelum  berbicara, seperti biasa, ia sentuh gagang kacamatanya, lalu….
 Bismillah. Alhamdulillah. Wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du.  Sebelumnya saya mohon maaf, saya tidak bisa memberikan nasehat lazimnya  para ulama, para mubaligh, atau para ustadz. Namun pada kesempatan kali  ini perkenankan saya bercerita.
 Cerita yang hendak  saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan cerita biasa.  Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya, yang telah  saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai  berdua dan hadirin sekalian yang di muliakan Allah bisa mengambil hikmah  dan pelajaran yang dikandungnya. Ambillah mutiaranya dan buanglah  lumpurnya. Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati-hati  yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dan kedamaian, serta  menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
 Hadirin yang  terhormat,
 Tiga puluh lima tahun  yang lalu…..
 Saya adalah seorang  pemuda, hidup ditengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya  seorang perwira tinggi, keturunan ”Pasha” yang sangat terhormat di  negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga  aristokrat terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan  sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan  elit polotik negeri ini. Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan  perempuan. Kami hidup dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup  tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan  norma aristokrat. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan  kalangan aristokrat atau kalangan high class sepadan!
 Entah kenapa, saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti  ini. Saya merasa terkungkung dan terbelenggu  oleh strata sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan  sebenar hidup yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justru saat  bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah yang menghadapi kehidupan  dengan penuh tantangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar  keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga  status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang-orang yang selalu  basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap memalukan  keluarga. Namun saya tidak ambil peduli.
 Begitu Fakultas  kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali saya minta ayah  untuk menggantinya dengan mobil yang biasa saja, agar lebih enak bergaul  dengan teman-teman dan para dosen. Tapi beliau menolak mentah-mentah.
 ”Justru dengan mobil  mewah itu kamu akan dihormati siapa saja.” Tegas ayah. Terpaksa saya  pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah habjs-habisan  pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati, saya parkir  mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.
 Di kuliah saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh pesona lahir batin. Saya tertarik  dengan kesahajaan, keserdahanaan dan kemuliaan akhlaknya. Dari keteduhan  wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan  kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menakjubkan.  Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.
 Gayung pun bersambut.  Dia ternyata juga mencintai saya. Saya telh menemukan pasangan hidup  yang tepat. Kami berjanji akan menempatkan cinta ini dalam ikatan suci  yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus  dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka datanglah saatnya untuk  mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta  penuh bahagia di jalan yang lurus. Saya buka keinginan untuk melamar  dan menikahi gadis pujann hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung  ke rumah. Ayah, ibu, dan saudara-saudara saya semuanya takjub dengan  kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya  dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.
 Usai kunjungan itu,  ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya beritahu, serta  merta meledaklah badai kemarahan ayah dan langsung membanting gelas yang  ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum : Pernikahan ini tidak  boleh terjadi selamanya! Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih  hidup rencana pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh  terjadi. Pembuluh darah otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan  remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.
 Hadirin semua, apakah  anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku sedemikian sadis?  Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu adalah tukang cuku….tukang  cukur, ya sekali lagi… tukang cukur!saya katakan dengan bangga. Karena  meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja  keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik pada keluarganya.  Dia telah mngukir prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan  ”Pasha”. Lewat tangannya ia lahirkan tiga orang dokter, seorang  insinyur, dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak mengecap  bangku pendidikan.
 Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak pada ayah. Saya  berdiri sendiri, tak ada yang membela. Pada saat yang sama adik lelaki  saya membawa pacarnya yang telah hamil dua bulan ke rumah. Minta  direstui. Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta  pernikahannya sebesar lima ratus ribu pound. Saya protes kepada mereka,  kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini?kenapa saya yang ingin  bercinta di jalan yang lurus tidak direstui sedangkan adik saya yang  jelas-jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili  pacarnya yang entah keberapa diluar akad nikah malah direstui dan diberi  fasilitas maha besar?dengan enteng ayah menjawab, “ Karena kamu memilih  pasangan hidup dari strata yang salah dan akan menurunkan martabat  keluarga, sedangkan pacar adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia  akan menaikkan martabat keluarga besar Al Ganzouri.”
 Hadirin semua semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya tentu saya maki habis-habisan.  Mungkin itulah tanda kiamat mau datang, yang ingin hidup bersih dengan  menikah dihalangi namun yang jelas berzina justru difasilitasi. Dan  dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup  saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan  bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain  menikah dan hidup baik-baik sesuao dengan tuntunan suci yang saya yakini  kebenarannya. Itu saja. Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan  saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang  sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana  saya. Namun, la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh  sikap beliau setelah mengetahui penolakn keluarga saya. Beliau pun  menolak mentah-mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Bahkan  bersumpah tidak akan merestuia hal itu selamanya, demi kehormatan  keluarganya. Dia tidak rela keluarganya menjadi bahan ejekan dan hinaan  kalangan “Pasha”. Namun putrinya bersikeras ingin menikah dengan saya  dan tidak akan menikah kecuali dengan saya. Ternyata beilau menjawabnya  dengan reaksi lebih keras, baliau tidak akan menganggapnya sebagai anak  jika tetap nekat menikah dengan saya.
 Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak  pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial, sedangkan keluarga  dia menolak karena alasan membela kehormatan. Berhari-hari saya dan dia  hidup berlinang airmata, beratap dan bertanya kenapa orang-orang itu  tidak memiliki kesejukan cinta?
 Setelah berpikir  panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu  hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor ma’adzun syari  (petugas pencatat nikah) disetai tiga orang sahabat karibku. Kami  berikan identitas kami dan kami minta ma’adzun untuk melaksanakan akad  nikah kami secara syar’i mengikuti madzhab imam hanafi. Ketika ma’adzun  menuntun saya,” Mamduh, ucapkanlah kalimat ini : Saya terima nikah kamu  sesuai dengan sunnatullah wa rasulihi dan dengan mahar yang kita  sepakati bersama serta dengan memakai madzhab Imam Abu Hanifah ra.”  seketika itu bercucuranlah airmata saya, airmata dia, dan airmata ketiga  sahabat yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah ini. Kami  keluar dari kantor itu resmi sebagai suami istri yang sah dimata Allah  Swt. dan manusia. Kami punya legalitas sebagai suami istri yang diakui  negara dan diakui syariat. Kami telah bertekad siap menghadapi  kemungkinan hidup ini murni dengan kekuatan kami, tanpa sandaran dan  dukungan siapapun kecuali pertolongan Allah Swt. Saya bisikkan dalam  telinga istri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya  penderitaan ini belum berakhir.
 Seperti yang saya  duga, pernderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami membuat murka  keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu mencium  pernikahan kami, saya diusir oleh ayahku dari rumah. Mobil dan segala  fasilitas yang ada di sita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa.  Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang sebanyak  tujuh pound saja, hanya empat pound!itulah sisa uang yang saya miliki  sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma’adzun. Begitu pula  dengan isteriku, iapun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis ia hanya  membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak dua pound, tak lebih.  Total kami hanya pegang uang enam puond atau dua dolar. Ah apa yang  bisa kami lakukan dengan enam pound. Kami bertemu di jalan layaknya  gelandangan. Saat itu adalah bulan februari, tepat pada puncak musim  dingin. Kami menggigil. Rasa cemas, takut, sedih dan sengsara campur  aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca  bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang, rasa  berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
 ”Habibti, maafkan  kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini. Maafkan kanda!”
 ”Tidak kanda tidak  salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah berpikir benar dan  bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa menghargai kebenaran.  Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil. Suatu ketika mereka  akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak  menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini. Percayalah, insya Allah,  saya akan setia mendampingin kanda, selama kanda setia membawa dinda  dijalan yang lurus. Kita akan buktikan pada mereka bahwa kita bisa hidup  dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu  ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita  berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru. Airmata mereka akan mengalir deras seperti derasnya airmata  derita kita saat ini.” Jawab istri saya dengan terisak dalam pelukan.  Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa dalam diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu  sirna seketika. Apalagi teringat satu bulan lagi  kami akan diangkat menjadi dokter. Dan sebagai lulusan terbaik  masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan uang sebanyak 40  pound.
 Malam semakin larut  dan hawa dingin emakin menggigit. Kami duduk di emperan toko berdua  sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan otak kami terus  berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di emperan toko  itu. Jalan keluar itu pun datang jua. Dengan sisa uang enam pound itu  kami bisa meminjam telpon di sebuah toko dua puluh empat jam. Saya  berhasil menghubungi seorang teman yang bisa memberi pinjaman sebanyak  50 pound. Ia bahkan mengantarkan kami dengan mobilnya mencarikan  lokandat (losmen) ala kadarnya yang murah.
 Saat kami berteduh  dalam kamar sederhana, segeralah kami disadarkan kembali bahwa kami  berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya berdua  dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang, dan perjuangan  keras kami berdua serta rahmat Allah Swt. kami hidup dalam lokandat itu  beberapa hari, sampai teman kami berhasil menemukan kontrakan sederhana  di daerah kumuh Syubra Khaimah.
 Bagi kaum aristokrat  rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang  binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka  mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami. Namun bagi kami ini  adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika seorang  gelandang tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagi mendapat hadiah  agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang membutuhkan uang,  sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan uang administrasi  lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk tiga bulan. Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana.  Lalu kami membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari  sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu, dua kursi,  dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah,  itu saja tak lebih.
  Dalam  hidup yang bersahaja dan belum bisa dikatakan layak itu, kami tetap  merasa bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah didunia ini  kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta?  Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah  orang-orang di dunia merindukan surga di akherat. Karena di surga Allah  menjanjikan cinta. Ah, saya jadi teringat perkataan ibnul qayyim, bahwa  nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami istri adalah  untuk memberikan gambaran setetes rasa nikmat yang disediakan Allah di  surga. Jika percintaan suam isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih  nikmat dari itu semua. Nikmat cinta di surga tak bisa dibayangkan. Yang  paling nikmat adalah cinta yang diberikan Allah kepada penghuni surga,  saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga  berhak menikmati indahnya wajah Allah Swt. Untuk mencapai nkmat cinta  itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Quran dan Sunnah. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allahlah yang berhak  memperoleh segala cinta di surga.
 Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan  lurus mendekatkan diri kepada-Nya. Isteri saya jadi rajin membaca  al-quran, lalu memakai jilbab, dan tiada putus shalat malam. Di awal  malam ia menjelma menjadi putri raja yang cantik menggairahkan. Diakhir  malam ia menjelma menjadi Rabiah Adawiyah yang larut dalam samudera  munajat kepada tuhan. Pada waktu siand dia adalah dokter yang penuh  pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan  berkepribadian kuat, ia bertekad untuk menempuh hidup berdua tanpa  bantuan siapa pun, kecuali Allah Swt. Dia juga seorang wanita yang  pandai mengatur uang. Uang sebanyak 55 pound yang tersisa setelah  membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama satu  bulan. Tetangga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan  kami pun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan  derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada  yang bilang tanpa disengaja, ”ah, kami kira para dokter itu pasti kaya  semua, ternyata ada juga ya yang melarat sengsara seperti mamduh dan  isterinya.”
 Akrabnya persaudaraan  kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali  tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya saudara  sendiri. Ada yang menawari isteri agar menitipkan saja cuciannya pada  mesin cuci mereka. Karena kami memang dokter yang sibuk. Ada yang  membelikan kebutuhan dapur. Ada yang membantu membersihkan rumah. Sya  sangat terkesan dengan pertolongan-pertolongan itu. Kehangatan tetangga  itu seolah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga  kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk  mencari dan mengunjungi kami.
 Yang lebih mnyakitkan  mereka tidak membiarkan kami hidup tenang. Seuatu malam, ketika kami  sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor dam didobrak empat  bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada.  Meja kayu satu-satunya mereka patah-patah, juga kursi. Kasur tempar kami  tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami  dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman, ”kalian tak  akan hidup tenang, karena berani menantang tuan Pasha!” yang mereka  maksudkan dengan ”tuan Pasha” adalah ayah saya yang saat itu pangkatnya  naik menjadi jenderal.
 Keempat bajingan itu  pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan  membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang hancur. Kami  kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami masukkan dalam kasur  dan kami jahit kasur yang robek-robek tak karuan itu. Kami tata lagi  buku-buku yang berantakan. Meja dan kursi yang patah itu berusaha kami  perbaiki. Lalu kami tertidur kecapaian dengan tangan erat bergenggaman,  seolah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang  meringankan intimidasi hidup ini. Benar, firasat saya mengatakan ayah  tak aakn membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat berita dari seorang  teman bahwa ayah telah merancang skenario keji untuk memenjarakan istri  saya berdua dengan tuduhan wanita tuna susila. Mereka berhak  melaksanakan apa saja dan undang-undang ada di telapak kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.
 Dan masaya Allah!  Aayh memang merancang skenario itu dan tidak mengurungkan niat jahatnya  itu kecuali setelah seorang teman karibku berhasil memperdaya beliau  dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar menceraikan isteri  saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario  itu, sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan lebih keras  dan bisa berbuat lebih nekad. Tugas temanku itu adalah mengunjungi  ayahku setiap pekan sambil meminta beliau sabar, sampai berhasil  meyakinkan saya untuk mencerai isteriku. Inilah skenario temanku itu  untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan  rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih  matang.
 Beberapa bulan  setelah itu datanglah saatnya wajib militer. Selama satu tahun penuh  saya menjalani wajib militer. Inilah masa yng sangat saya takukan, tidak  ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap  bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya  cintai. Nyaris selama satu tahun saya tidak bisa  tidur karena memikirkan keselamatan isteri tercinta. Tetapi Allah tidak  melupakan kami, dialah yang menjga keselamatan hamba-hamba-Nya yang  beriman. Isteri saya hidup selamat bahakan dia mendapat kesempatan  magang disebuah klinik kesehatan dekat rumah kami. Jadi satu tahun ini,  dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah.
 Selesai wajib  militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu pada kekasih hati.  Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya  tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum  manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair  Plestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia dan lepas  dari belenggu derita,
 
 Sambil menatap ke  kaki langit
 Kubilang padanya
 Disana, diatas lautan  pasir kita akan berbaring
 Dan tidur nyenyak  sampai subuh tiba
 Bukan karena  ketiadaan kata-kata
 Tetapi karena  kupu-kupu kelelahan
 Akan tidur di atas bibir kita
 Besok, oh cintaku,  besok
 Kita akan bangun pagi  sekali
 Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
 Dan kita akan terbang  bersama angin
 Seperti  burung-burung.